Jumat, 21 Desember 2012

Cerpen Sedih Tentang Adik Kakak

Buat sobat yg suka baca cerpen, kali ini coba menghadirkan Cerpen Sedih Tentang Adik Kakak "Surat Cinta di Dinding" yang cukup mengharukan dan bisa menjadi renungan buat kita. Cerita pendek tentang kakak dan adik yang mempunyai kekurangan fisik, penyesalan seorang kakak karena telah membuat kesalahan yg mungkin gak akan termaafkan seumur hidup.

Oke deh, kalo penasaran langsung aja sobat baca cerpen sedih tentang adik kakak berikut. Baca pelan-pelan dan hayati yah..

Cerpen Sedih Tentang Adik Kakak
"Surat Cinta di Dinding"
(Oleh: Eka Restu Anggraeni)

***
Aku membenturkan sapu dengan keras ke dinding. Aku masih merasa kesal. Diana si idiot kecil itu berulah lagi, dan kali ini vas bunga favorit mama yang jadi korban. Satu jam yang lalu, aku baru saja tiba di rumah ketika Diana si idiot itu tiba-tiba saja berlari ke arahku dan menabrakku. Aku kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh menindih vas bunga mama. Mama datang dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiri kami. Aku terbaring di lantai dengan pecahan vas berserakan di sekitarku.

"Bukan salahku! Si idiot kecil itu menabrakku!" aku berbicara cepat-cepat sebelum mama menyalahkanku. Aku memandang tajam ke arah Diana yang sedang duduk di lantai, dia memandangiku tanpa ekspresi. Mama memijit keningnya.

"Pram, berhenti menyebut adikmu dengan kata idiot. Cepat bereskan semuanya, sekarang waktunya Diana terapi." Mama berkata datar, kemudian pergi sambil menggandeng Diana.

Aku mendengus kesal. Tumben bocah itu tidak berteriak atau meronta saat mama menggandeng tangannya. Padahal biasanya dia akan meronta dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan saat mama mendekatinya. Ternyata terapi yang dilakukan mama belakangan ini lumayan berguna. Tapi Diana tetap saja Diana. Gadis kecil yang telah merampas keharmonisan keluargaku, gadis kecil idiot yang sering membuat masalah, gadis kecil yang membuat aku menjadi bahan ejekan teman-teman sekolah.

***
Dulu, aku memiliki sebuah keluarga yang sangat sempurna. Aku adalah anak tunggal di keluarga ini. Papaku seorang dokter yang hebat. Sedangkan mamaku adalah seorang ibu rumah tangga yang luar biasa. Aku bahagia hidup di tengah-tengah keluarga yang sempurna. Kami tinggal di rumah yang sederhana, indah dan terawat dengan baik.
Aku sangat betah berlama-lama di rumah dan memandangi mama yang tengah sibuk di kebun atau di dapur. Seringkali saat aku memandanginya, mama memanggilku dan memetikkan bunga untukku. Mamaku adalah seorang wanita yang istimewa. Senyumnya yang hangat dan masakannya yang lezat senantiasa menyambutku sepulang sekolah. Membayar semua rasa lelah.

Tapi kini, semenjak kehadiran Diana kecil, segalanya berubah. Aku mulai merasa jauh dari mama dan papa. Semuanya menyibukkan diri dengan Diana. Diana lahir dalam keadaan tidak normal. Diana cacat mental, aku lebih suka menyebutnya dengan si idiot pembawa sial. Mama memarahiku habis-habisan saat mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Padahal sebelumnya mama belum pernah semarah itu padaku.

***
Sayup-sayup aku mendengar suara lagu allegretto dari album the mozart effect mengalun dari arah kamar Diana. Diana sedang terapi. Mama bilang, perkembangannya cepat sekali. Mama optimis Diana pasti bisa sembuh. Aku mencibir. Cacat mental memangnya bisa disembuhkan? Cacat mental kan kelainan, bukan penyakit.

Aku melihat Diana sedang mencoret-coret dinding kamarnya, mama berdiri di sampingnya. Dia tersenyum dan matanya berkaca-kaca. Diana mengoceh tak jelas. Aku merasa semakin jengkel.
Dulu aku pernah mencoret-coret dinding kamarku dan dimarahi oleh mama. Tapi mengapa sekarang saat Diana mencoret-coret dinding kamarnya, mama malah diam saja? Bahkan mama memandanginya dengan tatapan haru seperti itu. Benar-benar tidak adil. Mama seharusnya lebih menyayangiku daripada Diana. Aku anak yang pintar dan berprestasi. Aku tidak merepotkan seperti Diana.

***
Hari ini aku menerima penghargaan sebagai siswa teladan di sekolah. Tapi aku kesal, mama tidak datang untuk menontonku berpidato di atas panggung. Sesampainya dirumah, aku segera meluncur ke kamar mama, bahkan tanpa melepaskan sepatuku terlebih dahulu. Satu minggu yang lalu, mama sudah berjanji akan menghadiri undangan apresiasi siswa berprestasi. Tapi mama mengingkarinya. Padahal aku berusaha sangat keras untuk merebut predikat ini dan mempersembahkannya untuk mama. Aku ingin mama bangga saat melihatku berpidato dan memuji-mujinya dari atas panggung. Aku ingin mama dan papa memelukku erat sambil mengucapkan selamat seperti yang selalu mereka lakukan dulu. Aku benar-benar kecewa. Pasti gara-gara Diana.

"Mama kemana?" tanyaku pada Diana yang sedang menggenggam krayon merah di tangan kanannya.

"Mozart.." jawabnya lirih.
Aku jadi ingat. Semalam mama mengeluh kaset terapi the mozart effectnya rusak karena terlalu sering diputar. Mama saat ini pasti sedang pergi untuk membeli yang baru.

"Dasar idiot, gara-gara kamu mama jadi lupa datang ke acara sekolahku!" bentakku. Diana memandangku tanpa ekspresi.

"Kakak..." ucapnya tiba-tiba.
Tangan kecilnya meraih tanganku. Menariknya perlahan. Aku menghempaskan tangannya. Dia terhuyung ke belakang.

"Apaan sih kamu? Tanganmu kotor!" aku membentak lagi sambil mengibaskan tanganku.

"Lihat gambarku." Jawabnya singkat.

"Aku bisa nulis. Aku bisa gambar." Diana sumringah.
Dia merogoh sakunya sambil mengangsurkan secarik kertas yang sudah lusuh dan penuh coretan krayon. Sepertinya aku mengenali kertas itu. Aku merampas benda itu dari tangan Diana.

"Bagus kan, Kak?" tanyanya.
Aku terbelalak.

"Apa?! Dasar bocah idiot! Kamu tahu ini apa? Ini sertifikatku! Aku berminggu-minggu belajar ekstra untuk mendapatkan ini! Kenapa malah kamu coret-coret?!" emosiku memuncak.

"Kakak tidak suka?" Diana bertanya lagi.

"Aku lebih suka kamu mati." Jawabku ketus sambil melempar sertifikatku yang sudah lecek itu keluar jendela. Aku segera berjalan sambil menghentak-hentakkan kakiku menuju kamar. Kali ini bocah idiot itu sudah sangat keterlaluan.

------

"Kakak bilang, kakak lebih suka aku mati.?" Diana berdiri di hadapanku. Pandangan matanya kosong. Diana berbicara lancar. Tidak tergagap seperti biasanya.

"Aku mau mati asal bisa bikin kakak suka sama aku." tambahnya. Aku tercekat. Diana saat itu sedang mengenakan gaun pink favoritnya. Wajahnya pucat. Dengan tangan yang gemetar, dia mengangsurkan secarik kertas lusuh padaku. Aku menerimanya. Perlahan-lahan, aku membuka lipatannya. Ada coretan krayon merah yang membentuk dua orang sedang bergandengan tangan. Gambarnya memang jelek, tapi aku terharu saat membaca judulnya; "Aku dan Kak Pram".

"Aku lompat dari jendela untuk mengambil kertas ini. Tadi kakak belum lihat gambarnya. Aku ingin kakak melihatnya.. Aku sudah mati kak, seperti kemauan kakak. Jadi sekarang kakak suka kan sama aku?" ucapnya polos. Dadaku sesak.

***
Aku terbangun dengan keringat membasahi sekujur tubuhku. Napasku tersengal-sengal seperti habis berlari marathon. Aku merasakan ada sesuatu yang kugenggam di tangan kiriku.
Aku terhenyak. Dadaku berdetak cepat. Dengan tangan gemetar, aku membuka lipatan kertas lusuh itu. Bagaimana benda ini bisa kugenggam? Aku yakin, aku sudah melemparnya keluar jendela tadi. Tubuhku lemas ketika aku mendapati yang ada dalam kertas itu adalah gambar dengan judul yang sama persis dengan mimpiku.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke arah kamar Diana. Kumohon Tuhan, maafkan aku. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Diana, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku. Aku yakin ini hanya mimpi, tapi kenapa kertas ini bisa ada disini? Ya Tuhan, tolong lindungi Diana.

Aku merasa lega saat melihat Diana kecil dengan tangan dan bajunya yang penuh dengan noda krayon sedang asyik mencoret-coret dinding kamarnya. Syukurlah, ternyata hanya mimpi.

Aku melangkah masuk. Diana kecil masih sibuk menggoreskan krayonnya ke dinding, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Aku terisak perlahan saat kuamati coretan-coretan yang Diana buat di dinding kamarnya.

"Aku sayang Kak Pram"
"Aku main boneka sama Kak Pram"
"Aku naik sepeda sama Kak Pram"

Ya Tuhan, jahat sekali aku selama ini. Kenapa aku bisa membenci adikku sendiri? Aku memeluk erat Diana. Dia menghentikan kegiatan menggambarnya dan memandangku. Tubuhnya dingin. Kertas lusuh yang kugenggam tadi terjatuh. Diana meraihnya dan mengangsurkannya kembali padaku. Aku menerimanya sambil tersenyum.

"Gambarmu bagus. Kamu pintar sekali." Pujiku sambil mengusap lembut rambutnya.

"DIANAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...!!!"
Aku terkejut mendengar teriakan mama. Aku segera beranjak menuju jendela untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana, tapi suara Diana menghentikan langkahku.

"Terima kasih, kak. Tidak sia-sia aku lompat dari jendela untuk mengambil kertas ini. Tadi kakak belum lihat gambarnya. Aku ingin kakak melihatnya..." ucapnya polos. Dia tersenyum.

Wajahku memucat. Apa maksudnya?? Aku mundur perlahan ke arah jendela. Banyak kerumunan orang di bawah sana. Aku melihat mama sedang memeluk gadis kecil yang terbaring dan bersimbah darah. Aku mengenali sosok itu. Itu Diana.
Ragu-ragu, aku menatap kembali ke arah tembok. Diana sudah tidak ada di sana.
Ya Tuhan, Diana....

Bagaimana cerita pendek tentang kakak adik diatas. Kalo kalian bacanya menghayati pasti merasa sedih dan terharu deh. Cerpen Sedih Kakak Adik diatas bisa juga jadi renungan buat kita, jangan pernah merasa malu apalagi berlaku kasar dan gak mau nerima kalo punya seseorang yang mempunyai kekurangan fisik (baca: cacat / anak berkebutuhan khusus). Disalin dari facebook. Salam cinta dan persahabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar